Belakangan hari ini aku ngerasa girang banget. Bahagia tak alang kepalang. Langkah ringan, hati riang, senyum terkembang… kenapa hayo???
Bukan kenapa2, sebenernya. Di posting sebelumnya, aku sempet cerita tentang Jong Java
Mau cari anak2 band yang terlantar, agak susah juga. Koneksi kurang luas. Nah, pas banget aku dah gabung di Jong. Jadi, aku SMS pak Lurah, si Ari, ngajakin anak2 Jong bikin musikalisasi puisi. Ntar, kalo ada kegiatan apa gitu di kampus, kita bisa nyumbang penampilan, bawa nama Jong. Biar Jong tambah beken gitu. Pas diskusi di Pendopo, ternyata ada Mas Insan. Jadilah aku diskusi sama Mas Insan dan Pak Lurah. Kata Mas Insan, kalo mau nampilin musikalisasi puisi pas MGS PBSID (Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah) alias Basindo (MGS Basindo itu bulan Oktober, dalam rangka peringatan Bulan Bahasa dan hari Chairil Anwar yang dijadikan satu), bakalan gak bagus. Karena akan ada aja yang nampilin musikalisasi puisi, mengingat, kami memang anak2 bahasa, adi larinya pasti ke
Dari musikalisasi, pembicaraan beralih ke masalah kampus. Kami membicarakan mahasiswa Basindo yang menurutku (juga Mas Insan) gak ada yang interest sama sastra. Padahal, jurusan kami itu
Mau jadi apa ntar? Kalo cuma jadi guru yang bisa ngajar ala kadarnya, semua orang juga bisa. Tapi, dunia pendidikan, apalagi jaman sekarang, gak butuh guru seperti itu!
Tapi, coba liat mahasiswa sekarang, khususnya di Undiksha. Rata2 gak lebih dari mahasiswa kupu-kupu. Kuliah-pulang. Kuliah-pulang. Akhir minggu, pulang kampung. Habis. Kalaupun ada yang aktif di HMJ, senat, BEM atau pun MPM, paling2 cuma nebeng nama doing. Gak bener2 bekerja, berpikir, punya andil dalam setiap kegiatan, karena memang keanggotaan mereka berasal dari “asas kedekatan”. Kalo kenal sama senior di organisasi itu, ya periode kepengurusan berikutnya, bisa masuk. Padahal, kalau ikut rapat, cuma nyumbang suara “setuju!”, “pas!” atau “sah!”. Setelah itu, gak ada suara lain. Paling hanya segelintir orang aja yang sumbangsih pemikiran. Selebihnya, sibuk utak-atik hape, SMS pacar.
Yang cewek cuma mikirin dandan, baju, cowok (pacar). Yang cowok cuma mikir cewek, motor baru, dan budget buat malam mingguan. Ironis. Bikin aku meringis. Kadang hampir nangis. Karena aku menyadari, aku bukan bagian dari mereka. aku gak seperti mereka, namun harus hidup dengan caraku sendiri, sementara jalan hidupku, jalan pikiranku berbeda dengan yang “lumrah” itu.
Aku menyadari, aku mulai dijauhi, mulai dibenci. Pada akhirnya, aku harus memilih, hidup terhina karena jalan pikiranku sendiri, atau dihormati karena “tunduk” dan “patuh” pada kelaziman-kelaziman yang absurd itu dan membiarkan kebebasanku diperkosa oleh diriku sendiri. Mulanya, aku ingin menyerah. Aku mulai putus asa. Tapi, sebuah film yang dibintangi si cakep Nicholas Saputra membuatku tercambuk malu: GIE.
Kisah hidup mahasiswa UI yang mati muda itu mencambukku dengan rasa malu. Kenapa? Tontonlah filmnya. Bacalah kisah hidupnya. Ia hidup terasing, dibenci karena pemikiran-pemikirannya. “Kelaziman” yang absurd menggugah perasaannya untuk mengubah keadaan. Ia membeberkan kebenaran, meski itu membuatnya dimusuhi banyak orang. Aku belum sampai pada taraf itu, tapi telah memutuskan untuk menyerah.
Waktu semester 1 atau 2 (lupa tepatnya kapan, karena sudah cukup lama), aku ikut PDJ (Pelatihan Dasar Jurnalistik) untuk menjadi anggota pers mahasiswa di Undiksha, VISI. Ternyata, ada 1 ketentuan dalam VISI yang gak bisa kulakukan. Aku ingat, salah satu senior di VISI bilang, “Ingat, kita tidak boleh menjelek-jelekkan lembaga (kampus)”. Ingin menangis aku dibuatnya. Kebebasan pers di sini telah diperkosa. Tapi, aku mencoba melawan. Akibatnya, hasil liputan yang sudah susah payah kubuat ditolak. Tidak ikut diterbitkan, karena isinya secara implicit seperti memojokkan lembaga/kampus, dan bahasanya cukup pedas. Aku mundur. Aku keluar dari tempat prostitusi pers tersebut, karena aku tidak ingin memperkosa kebebasanku sendiri dalam memberitakan kebenaran. (Bila ada anggota VISI membaca ini, aku mohon maaf bila kata2ku menyinggung perasaan. Tapi, jalan kita memang tidak sama…)
Keluar dari VISI, tidak ada tempat untukku beraspirasi. Aku masuk KSR-PMI karena memang ingin di
Sayang. Sekali lagi, sayang. Tidak ada tempat untukku yang sudah semakin gelisah. Jiwa “macan”ku sudah ingin “menerkam” habis semua kebobrokan2 itu. Aku sudah muak dengan kondisi ini!
Aku belum melangkah, tapi sudah hendak menyerah. Sampai kemudian, semangat Gie membakar tekadku. Aku harus maju! Dan semangat itu semakin dikobarkan oleh Mas Insan, terutama Pak Lurah. Pak Lurah mengajak aku menghadiri acara yang akan diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Demokrasi (mudah2an namanya bener) di Pendopo Jong Java hari Sabtu nanti, sebagai langkah awalku menjadi “macan”.
Aku seperti menemukan “rumah” untukku di saat aku telah lelah mencari… rupanya, Pak Lurah selama ini sering mengikuti pergerakanku. Dan dari perbincangan ringan kami malam itu, dia merasa aku cocok untuk diajak bergabung.
Kini, bila aku dihadapkan pada pilihan untuk patuh pada keabsurdan atau bebas namun terasing, aku akan memilih yang kedua! Karena aku sudah tidak takut lagi akan terasing. Aku telah menemukan rumahku….
Bagi pembaca, khususnya mahasiswa yang tertarik untuk hadir, silakan datang ke Pendopo di Jalan Angsoka (nomernya lupa, lagi2), di sebelah lapangan tennis, atau tinggali komen di bawah, dilengkapi no hape, biar bisa kuhubungi… ^_^
Trus, tadi ketemu anak2 Jong di Tamkot (Taman Kota) pas ada pameran dan lukis bersama di
Kesampean juga mimpiku mbikin kelompok musikalisasi puisi. Sekarang, kami masih bergerilya nyari anggota dan pemain musik. Rencananya, ntar malem aku rapat (tsah!) sama Er di pondokannya yang ternyata sebelahan sama kosku…hehehe….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar