Jumat, 20 November 2009

Makemit

aku merasa berdosa sekali. ini minggu ke sekian sejak Pak Artika memberi tugas untuk membuat buku ajar. tapi, sampai sekarang sedikit pun tugas itu belum selesai kubuat. makanya, aku bertekad makemit (tidak tidur malam hari) agar tugas itu cepat selesai kubuat. ah, aku merasa berdosaaaa sekali....

Maafkan saya, Pak. ~_~

Today is....

hari ini, aku mengunjungi sebuah sekolah yang letaknya bagiku agak "tersembunyi". kukatakan demikian, karena letaknya memang tidak di pinggir jalan utama Singaraja, tapi masuk gang sekitar seratus meter.

aku ke sana untuk memenuhi janjiku pada kakak tingkatku, Kak Aries. aku telah berjanji untuk membantunya membimbing siswa sekolah itu saat ekskul jurnalistik, karena ia sendiri sekarang sibuk KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Galungan, sangat jauh dari Singaraja. jujur, sebenarnya aku tak siap, apalagi bila harus memberikan materi tentang jurnalistik, karena aku sendiri tak menguasai teorinya. aku hanya bisa prakteknya. tapi, ternyata aku cuma perlu membimbing mereka. tidak ada materi yang perlu kuberikan. tidak perlu sok pintar jadi guru. :p

siswa-siswa adalah mutiara-mutiara terselubung lumpur yang penuh semangat. namun, lumpur-lumpur yang menyelimuti mereka cukup tebal dan menghilangkan kemilau mereka. sekolah mereka bukan tipe sekolah yang suka memiliki murid yang kritis, apalagi gurunya. sebuah kondisi yang cukup tragis dan membuat hatiku trenyuh. bila kampus memiliki kondisi seperti sekolah itu, atau sekolahku dulu seperti sekolah itu, tentu aku akan murka setengah mati. dan kupastikan mading sekolahku dibredel sekolah karena tulisan-tulisanku.

dulu, saat aku masih SMA, aku pernah bentrok dengan OSIS karena tulisan-tulisanku. sampai-sampai kepala sekolah turun tangan, mengancamku untuk "memperhalus" bahasa tulisanku, atau kalau tidak mading akan dibredel (ketika itu kepsek jg "memperhalus" bahasanya dengan mengatakan, bahwa mading tidak akan diberi dana operasional lagi). ya, kubalas saja,"kalau mading mau dilarang terbit lagi, sekalian saja bubarkan ekskul mading, daripada membunuh nurani kewartawanan saya, daripada membohongi sekolah!"

tentu kepsek berpikir ulang, karena ia harus bertanggung jawab pada dinas pendidikan bila ekskul mading tidak ada di sekolah sekelas sekolahku yang cukup diperhitungkan di tingkat kabupaten.

nah, kondisi yang lebih mengenaskan ada di sekolah yang kukunjungi siang ini. anak-anak itu punya semangat yang sama denganku semasa SMA dulu. aku ingin membantu mereka mengembangkan potensi mereka. aku tahu rasanya berada di posisi mereka. sangat menyesali sekolahku setelah kuliah, karena aku menyadari, sekolahku tak memberi apa-apa. aku ingat betul, ketika hendak Ujian Nasional, aku dan teman2 sekelasku di jurusan Bahasa kebingungan sekaligus frustasi, sebab kami tak tahu hendak ke mana setelah lulus. bahkan, kami tidak yakin akan bisa lulus UN. kenapa kami bingung, itu karena kami menyadari kalau kami tak punya kemampuan apa-apa. tidak siap jika harus terjun langsung ke masyarakat, menjadi bagian dari masyarakat, bekerja. tapi, bila tak bekerja, kami harus kuliah. atau paling tidak semacam itu. tapi, mau kuliah apa?

kembali ke siswa-siswa yang kukunjungi tadi siang. aku tak ingin mereka bernasib sama.dibunuh kreativitasnya hanya untuk tunduk pada kekuasaan absurd yang jelas-jelas tidak memanusiakan mereka....

hm...bisa gak ya??? aku sangat berharap bisa membantu mereka....

Rabu, 18 November 2009

Jam 3 Pagi+makan mangga+ngopi+dingin+telat makan=maag akut pangkat dua

Gini, nih, kalo hidup sok sibuk. ceritanya, tadi pagi tuh kuliah Psikolinguistik jam 6 pagi, dilanjutkan dengan kuliah Metode Penelitian Bahasa. nah, kuliah metode ini mau ujian tengah semester. jadilah aku bangun jam 3 pagi buat belajar (niatnya sih gitu). tapi, berhubung mata masih sepet banget, akhirnya ya, masih bangun-bangun ayam gitu. merem-melek-merem-melek-molor lagi... :p


Untungnya, itu gak berlangsung lama. sambil rebahan, akhirnya aku maksain diri buat belajar. cuma baca-baca modul aja sih. trus, mata sepet lagi! bahaya!! bahaya!!! siaga satu!!!!! (entah di mana tiba-tiba muncul tanda bahaya ini)

Akhirnya, untuk menghilangkan kantuk, aku berinisiatif untuk makan sesuatu yang rasanya agak keras. Nah, berhubung yang ada di kos cuma dua buah mangga, kusikat aja tuh mangga. yang satu udah mateng, yang satu lagi setengah mateng. nah, pasti ada asem-asemnya tuh. dasar dodol dan tidak beradab, itu mangga asem kumakan deh...nyam...nyam...nyam...

habis makan yang asem-asem, mataku langsung terang berbinar-binar. belajar jadi enteng. tapi, lama-lama mataku tambah redup juga. maklum, boneka bantalku yang berbentuk anjing gepeng (namanya Cho-cho) itu emang pewe banget dipake. empuk-empuk gimanaaaaa gitu...

Sebagai mahasiswa aneh yang berbudi luhur, rajin belajar, tidak suka bolos (bohong), dan tidak pernah telat (bohong besar lagi!), aku berniat baik untuk............... nongkrong di warung kopi!!!

dengan sendal jepit ngembat punya mantan kakakku, celana pendek untuk olahraga yang pendek banget, plus jaket, dengan bekal dompet dan modul kuliah, aku berangkat dengan langkah jumawa dan penuh wibawa, ke ..... warung kopi.

mbak2 yang jual di kedai itu ngeliatin seolah-olah tumben ngeliat anak ayam keluyuran pagi buta gitu. tapi, tetep aja dia ngelayanin dengan baik, nyuguhin kopi pesenanku. jadilah aku nongkrong di warung kopi sambil belajar. kopinya mantep banget! mata langsung terbelalak lebar-lebar. gila, dunia ternyata seterang ini!!! (sambil melotot seolah baru sembuh dari kebutaan)

tapi, semua itu perlu dibayar mahal. tensi yang turun karena kurang tidur, stress mikirin ujian, mangga yang masuk perut pada jam yang salah, plus kopi yang emang musuh besar bagi penderita maag, bikin perutku senut-senut bak ditonjok Mike Tyson. ooooohhhhh......!!!!!!

sensasinya gimanaaaa........ gitu....

Belahan Jiwa, apa kabarmu?

Ya, ingin sekali aku bertanya: Belahan jiwa, apa kabarmu? sedang di mana? ingatkah padaku?

Akhir-akhir ini banyak hal yang mengingatkanku pada seseorang/dua orang yang benar-benar menjadi belahan jiwaku. Tiba-tiba saja ingatan itu terlempar kembali, terpampang di hadapanku, seperti slide film yang berputar, berkilas-balik pada masa lalu yang telah menjadi catatan. Hanya sekadar catatan, bahwa itu pernah terjadi dalam hidupku.

Ia/mereka pernah berarti. Demikian berarti, hingga tinta catatan itu tak pernah luntur dimakan rayap-rayap waktu. Catatan itu masih di sana, di sudut hati. Sesekali menggoda agar kubuka kembali, mengajakku hanyut pada kenangan, pada nostalgia. Mengajakku kembali menangis bahagia dan tertawa sedih sekaligus....

Kenapa masih kau kenang bila hanya akan menyakitimu? Itu pertanyaan klise yang tak pernah bosan ditanyakan oleh teman-teman dekatku.

Bagaimana mungkin kulupakan? Sekali lagi, ia/mereka pernah demikian berarti, meski tak ada sedikit pun arti diriku baginya/mereka.

Aku ingin bertemu lagi, tapi keraguan menyelipkan tanya, apa yang akan terjadi andai kami bertemu lagi?

Dan tanya hanya menjadi tanya: Belahan Jiwa, apa kabarmu?

Rabu, 11 November 2009

Curhat

Bulan Oktober kemarin adalah bulan yang sibuk, kalo “sangat sibuk” terasa terlalu lebay. Ada banyak beban, yang rasanya gak bisa ditanggung, tapi tidak ada tempat untuk berbagi. Capek, lelah, marah, frustasi, kesal, numpuk jadi satu, sampe bikin uring-uringan tiap hari. Depresi tiap detik mengancam keabnormalanku hingga nyaris menjadi “normal”. Di detik-detik genting yang menentukan, tiba-tiba ingin berbalik, menjadi seperti orang lain yang tak punya beban, tapi tak punya ilmu. Tiba-tiba ingin kabur dari semua tanggung jawab, bersikap seolah semua kesalahan bukan urusanku. Tiba-tiba ingin melepas semua itu di luar kendaliku, merasa aku akan bebas dan bisa hidup tenang setelah melakukannya.

Nyatanya, aku berusaha mati-matian bertahan. Benar-benar mati-matian, karena depresi yang memuncak ini membuatku nyaris ingin bunuh diri. Ini pertama kalinya niatku ingin mati muncul lagi setelah depresi yang kualami terakhir kali pada masa SMA dulu yang kelam.

Banyak yang mendukungku, tapi tak benar-benar membantu. Hanya bicara, bicara, dan bicara. Hanya bisa bicara harus ini-itu, tapi tak punya bukti konkret seperti apa sih yang harus kulakukan itu. Aku harus begini, begitu, tapi begitu kutanya: “Contohnya seperti apa sih?”, jawaban yang kudapat hanya: “Yah, kembangkan dengan kreasimu sendiri?”

Hello?????

Aku tahu, dia tak pernah melakukan yang kulakukan itu. Itu membuatku sangsi pada kemampuannya. Kutahu dia hebat, tapi sekarang di mataku ia tak sehebat dulu lagi. Aku melihat cacat yang menganga besar. Bukannya aku ingin dia tampak sempurna, tapi kalau mau nuntut ini-itu, bahasa kasarnya, ngaca dulu, dong…

Dan bulan ini pun sibuk. Sibuk menyibukkanku pada ambisi dan harapan… Menyibukkanku dalam tanya: “Apa aku mampu? Apa aku akan bisa?”