Selasa, 05 Mei 2009

Museum Sidik Jari

(Sebuah Catatan Perjalanan)

Matahari baru naik menguapkan embun di pucuk-pucuk daun dan kelopak yang tengah berseri. Sinarnya menerobos lembut hingga ke antara teratai di permukaan kolam kecil.

Kembang-kembang cantik berayun manja di tangkai lemahnya, meneteskan sisa embun tadi malam. Beberapa embun jatuh membasahi sebongkah batu. Sebongkah batu yang bukan sembarang batu.

Batu itu berbentuk lempengan, di permukaannya diukir sebuah puisi yang indah lengkap dengan tanggalnya, berbingkai batu-batu kecil. Diukir pula untaian bunga-bunga yang indah. Batu seperti itu tak hanya ada 1. Tak kurang dari sepuluh “prasasti puisi” tersebar di mana-mana. Siapa gerangan seniman luar biasa di balik “prasasti-prasasti puisi” itu?

Baru terlintas pertanyaan demikian, seorang pria sepuh muncul di antara bebungaan dengan senyum ramah. Ia mengajak masuk ke sebuah ruangan di sebelah kanan. Di situ terdapat beberapa lukisan sketsa yang dibingkai menjadi satu dan diberi label “Karya Saat SMP”. Di sebelahnya ada beberapa lukisan cat air yang juga dibingkai menjadi satu dengan label “Karya Saat SMA”. Di sebelahnya lagi, tersebar menutupi keempat dinding ruangan, ada lukisan-lukisan lain, dengan bahan lukis yang lain. Cat air, crayon.

Rupa-rupanya, itu adalah hasil karya pria sepuh yang menyapa tadi. Ia tak lain adalah pelukis ternama, Gusti Ngurah Gede Pamecutan, dan tempat yang kami kunjungi itu tak lain adalah rumah, galeri, sekaligus museum pribadinya. Di sanalah ia memajang seluruh hasil karyanya.

GN. Gd. Pamecutan memang seniman yang luar biasa. Mungkin, tak satu sastrawan atau seniman pun yang berpikir tentang mengukir puisi di atas lempengan batu besar layaknya sebuah prasasti. Di mana lagi ada seorang seniman yang berpuisi, melukis, sekaligus mengukir karya-karyanya?

Ibaratnya pendekar, GN. Gd. Pamecutan adalah seorang pendekar “sakti”. Tapi, “kesaktiannya” bukan terletak pada kesempurnaan visual yang ditampilkan lukisannya. Bukan pula terletak pada ide-ide “brilian” untuk “memprasastikan” puisi-puisinya. “Kesaktian”-nya yang utama terletak pada teknik melukisnya. Itulah “jurus andalan”-nya.

Jika dilihat sepintas, lukisannya tidak menggambarkan objek secara sempurna. Pada pandangan mata orang awam, banyak dijumpai warna atau goresan yang terasa “mengganggu”. Tapi, sesungguhnya itulah “kesaktian” lukisan GN. Gd. Pamecutan.

Tidak ada goresan-goresan kuas yang mendetail. Tidak ada garis-garis lengkung yang indah. Tidak ada padu-padan warna yang harmonis. Yang ada adalah ribuan titik besar yang berasal dari jemari tangannya sendiri.

Finger print, alias sidik jari. Itulah “jurus pamungkas” GN. Gd. Pamecutan dalam melukis. Sebuah jurus yang tak seorang pun bisa selain si pendekar itu sendiri. Berawal dari sebuah ”human error” ketika melukis, GN. Gd. Pamecutan berusaha “mempermak” sebuah lukisannya yang sempat “cacat” ketika dalam proses pembuatan. Ia memperbaikinya sembarangan dengan tangan. Ternyata, hasilnya cukup unik dan membuatnya tertarik. Akhirnya, ia lumuri lukisan setengah jadi itu dengan totolan-totolan warna dari jari tangannya. Hasilnya adalah sebuah lukisan maha karya yang kemudian membuatnya memiliki ciri khas tersendiri dalam dunia seni lukis.

Lukisan-lukisan itu kemudian ia simpan di sebuah ruangan yang dibagi menjadi tiga bilik yang berperan sebagai galeri sekaligus museumnya. Bilik pertama memajang karya-karya di awal ia berkarir sebagai pelukis. Teknik yang digunakan pada lukisan yang dipajang di sini adalah teknik konvensional. Ada yang menggunakan tinta cina, cat air, cat minyak, dan crayon, serta alat-alat yang dulu pernah ia gunakan untuk melukis, seperti bulu ayam, tinta cina, kuas, dan sebagainya. Bilik kedua dan ketiga memajang lukisan yang telah menggunakan teknik sidik jari. Juga beberapa karyanya yang lain yang berupa ukiran-ukiran, lukisan pada botol bekas, cindera mata yang bisa dipasang-bongkar, serta alat-alat musik tradisional. Alat-alat musik ini hanya untuk pajangan saja, karena ia tidak bisa memainkannya, hanya senang mendengar.

Museum sidik jari ini, selain sebagai rumah dan galeri milik GN. Gd. Pamecutan, juga dibuka sebagai tempat anak-anak kursus melukis, kursus gamelan, dan kursus menari tari Bali. Di satu tempat terpisah, agak menjorok ke belakang, ada sebuah ruangan terbuka yang mirip aula kecil, tempat anak-anak kursus melukis atau kursus gamelan, sekaligus galeri bagi lukisan-lukisan yang telah diselesaikan murid-murid yang ikut kursus tersebut.

Ada satu papan khusus yang memajang hasil karya cucu dari pelukis ini ketika masih duduk di bangku TK. Rupa-rupanya, meski darah seniman tak mengalir pada kedua anaknya, cucu dari anak perempuan GN. Gd. Pamecutan ini mewarisi darah seniman kakeknya. Satu papan yang lain memajang karya-karya murid-murid yang kursus. Karya-karya yang dipajang di papan ini menggunakan teknik sidik jari. Sementara, papan-papan yang lain memajang lukisan-lukisan berbahan cat air dan crayon.

Di sebuah teras, di sebelah galeri lukisan, terdapat beberapa kursi dan sebuah meja kayu dengan ukiran, serta sebuah pohon yang nampaknya hanya dipotong dari pokoknya, lalu langsung diukir. Pamecutan mengakui, itu juga hasil karyanya sendirinya. Hanya saja, untuk masalah ukir-mengukir kayu, bukan ia sendiri yang melakukan. Ia hanya membuat sketsa ukirannya, lalu menyerahkannya pada tukang ukir yang ahli.

Tepat di depan teras itu, ada sebuah bale tempat Pamecutan menciptakan karya-karyanya. Ia mengakui, sekarang sedang mendalami lukisan tentang wanita Bali. Oleh sebab itu, pada saat kami berkunjung ke sana, bale tersebut dipenuhi beberapa lukisan wanita berkebaya. Beberapa di antaranya sudah jadi, bahkan telah ada yang dibingkai dan diberi kaca. Satu karyanya masih dalam proses pengerjaan. Pamecutan membuatnya dengan bahan crayon, katanya sedang ingin menggunakan crayon. Lukisan itu belum jadi, karena ia sedang belajar menggambar kebaya brokat. Awalnya, ia merasa sulit membuatnya. Ternyata, setelah digores-gores, membuat motif brokat dirasa cukup mudah.

Sesungguhnya awal karir Pamecutan sebagai pelukis tidaklah mudah. Menjadi bagian dari keluarga bangsawan Puri Pamecutan membuatnya tercerai dari bakat yang mengaliri darahnya. Apalagi, pada masa kecilnya, seniman dianggap aneh dan dijauhi masyarakat. Masyarakat pada masa itu memandang seniman sebagai makhluk aneh karena penampilannya yang “tak biasa”. Ini bisa dimaklumi mengingat cara hidup seniman memang bikin “senewen”: jarang mandi; rambut panjang gembrong, jarang dikeramasi, apalagi disisiri; makan-tidur-mandi seenak hati; bahkan, sering dipandang sebagai orang yang tidak peduli pada lingkungan sekitarnya, asyik dengan “dunianya” sendiri. Padahal kenyataannya, justru senimanlah yang memiliki kepekaan tinggi terhadap lingkungan sekitarnya, jauh melebihi orang lain.

Untuk memuaskan hasratnya melukis, tak jarang Pamecutan kecil mengurung diri di kamar dan belajar melukis secara sembunyi-sembunyi. Ia mengakui, pengetahuannya tentang lukisan didapatnya secara otodidak. Semua ia pelajari sendiri. Semua teknik ia coba sendiri, sampai akhirnya ia menemukan tekniknya sendiri yang tidak bisa ditiru orang lain, Teknik Sidik Jari.

Setelah beranjak dewasa, ia memutuskan untuk meninggalkan puri. Alasannya, selain susah mendapat ketenangan mengingat itu adalah tempat keluarga besar bangsawan Pamecutan, ia ingin bebas menyalurkan bakat melukisnya. Hasil penjualan lukisannya ia gunakan untuk membangun museum ini. Ia berharap, dengan adanya museum ini, kelak ketika ia sudah tidak ada (meninggal), masih ada yang akan bercerita tentang dirinya, bahwa ia pernah hidup di sini, mengisi dunia. Lukisan-lukisan itulah yang akan bercerita tentang dirinya.

Telah banyak orang yang mencoba melukis dengan teknik sidik jari ini dari sang “Master”. Namun, tidak ada yang berhasil. Sebagian besar karena mereka kurang ulet dan sabar dalam menyelesaikan lukisannya. Sebagian lagi karena “feeling”-nya kurang kuat, sehingga sulit memvisualkan objek yang ingin dilukis ke dalam lukisan teknik finger print. Bahkan, seorang bule Belanda angkat tangan setelah beberapa bulan belajar dari Pamecutan, tetapi tak kunjung menguasai teknik ini. Sambil tertawa Pamecutan mengatakan, bule ini kurang sabar. Ia (Pamecutan) sendiri memerlukan waktu bertahun-tahun mendalami teknik sidik jari sampai kemudian mengerti betul teknik ini.

Satu hal lain yang menjadi daya tarik Museum Sidik Jari ini, selain merupakan rumah, galeri, sekaligus museum, tempat ini begitu asri. Penuh dengan berbagai jenis bunga. Wanginya yang lembut menyebar ke mana-mana. Selama ini kita mengunjungi museum, kesan yang kita dapatkan biasanya menyiratkan bahwa museum itu ruangan yang besar, dingin, berpilar-pilar angkuh seakan berkata: “Ini museum, Nak! Tempatnya benda-benda bersejarah, bahkan dari jaman sebelum kakek-nenek buyutmu lahir! Jadi, jangan nakal, ya. Karena benda-benda di sini adalah benda-benda pusaka. Benda-benda keramat. Benda-benda yang lebih mahal dari nyawamu!”. Kesan seperti itu tidak akan kita dapatkan di sini, di Museum Sidik Jari. Kita seperti mengunjungi rumah seorang kenalan lama, di sambut ramah, diajak berkeliling melihat seisi rumah dan didongengi kisah-kisah setiap senti bangunannya. Di mana lagi kita bisa mengunjungi museum dengan guide si pelukis itu sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar