Jumat, 17 April 2009

renungan

Tadi malam aku dapat pencerahan. Dapat suatu pelajaran baru yang berharga banget tentang hidup. Berawal dari alunan musik keroncong dari kamarnya Mas Kansas, salah satu penghuni senior kos Abimanyu I No. 3

Ceritanya, Mas Kansas lagi ngamuk. Ngamuknya bukan sembarang ngamuk. Ya, itu tadi, nyetel musik keras-keras. Doski demen banget begituh. Paling gatel kupingnya kalo kos lagi sepi. Aku sih gak masalah. Tiba2 aja, di saat yang sama juga suka keroncong. Asyik dah. Pas banget aku baru lese makan, sambil menikmati minum dan merasakan semangkuk mie instan makan malamku tadi turun ke dasar lambung untuk diolah jadi feces, ‘palaku “mantuk2” seirama musik keroncong dari radio di kamar Mas Kansas yang ada di lantai 2.

Lalu, musik keroncong nan sayhdu itu tiba2 berhenti, berganti jadi lagu pop oldies taun ’70 ato 80-an. Jamannya papi sama mamiku lah pokoknya. Trus, dari bawah aku liat sekelebat tubuh Mas Kansas yang tinggi besar itu berjoget ria, tangan bertepuk riang sambil jalan mundur, ‘pala digeleng2. aku cuma ketawa sambil naroh gelas ke kamar. Ups, cucian 2 hari yang lalu belum di ambil. Naik ke loteng ambil cucian. Pas turun, ternyata kakakku ada di lantai 2, ngobrol sama Mas Kansas di balkon. Habis naroh cucian ikutan nimbrung di atas. Mas Anom yang di kamar sebelah kamarku juga ikutan.

Ngumpul2 gitu ternyata asyik banget. Tumben banget aku bisa ngobrol sama anak2 kost. Biasanya cuma basa-basi yang pastinya basi banget: “mau kuliah?”, “habis kuliah?”, “iya”, atau “enggak, habis bikin tugas.” Stok pembicaraan kami itu2 ajah. Basi banget, kan? Gak tau de, jamurnya sebanyak apa.

Pas lagi ngobrol gitu, sempat disuruh beli gorengan. Mas Kansas yang traktir. Berhubung aku yang paling kecil, akulah yang disuruh jalan… lagi2…. ~_~

Habis balik dari beli gorengan, nunggu Mas Kansas yang masih ke kantor naruh mobil karena gak muatdiparkir di depan kos. Begitu dia balik, ngobrol2 lagi, trus kakakku balik ke kamar karena mau bikin tugas. Jadilah ada aku, Mas Kansas, sama Mas Anom di balkon. Sebenarnya, ada Kak Ari, kamarnya di lantai 2 juga, di sebelah kamarnya Mas Kansas. Tapi, habis mandi, langsung pergi beli makan malam.

Pas bertiga itulah, tiba2 Mas Kansas membuka obrolan tentang kedamaian, ketenangan. Sesuatu yang sebenarnya dicari manusia selama ini, namun gak banyak yang menyadarinya.

Mulanya, dia cuma nanya pendapat kami, tentang betapa indahnya malam. Betapa indahnya taburan bintang. Betapa nyamannya kesunyian malam. Betapa dalam kesunyian kita dapat menemukan ketenangan. Hati yang tegang, sedih, marah, akan reda dan hilang ketika kita meresapi diri dalam hening malam. Sebenarnya, tak mesti malam. Tapi, Singaraja memang baru beristirahat ketika malam tiba. Aku dan Mas Anom cuma manggut2 mengiyakan.

Mas Kansas: pernah nggak kalian ngelihat langit dan merasakan keindahannya. Meresapi ketenangannya. Rasanya, damaaaaiiiii banget….sebenarnya, ini loh, yang dicari manusia selama ini…ketenangan…

Dari ketenangan, kereta pembicaraan melaju ke surga. Sesuatu yang dijanjikan Tuhan kepada manusia yang taat pada-Nya. Mas Kansas tiba2 bertanya, “Aku kok nggak pernah liat kamu shalat, Dek?” (Mas Kansas emang sering manggil anak2 kos dengan panggilan “Adek” karena emang kami lebih muda darinya, dan untuk menimbulkan perasaan dekat dengan kami). Mendapat pertanyaan itu, aku cuma bisa tersenyum pahit. “Aku ini Islam di KTP doang, Mas…”

Kenapa begitu? Ya, karena statusku sebagai Islam hanya ada di KTP. Aku nggak pernah shalat. Syukur2 kalau mau tidur inget baca doa, syukur2 pas makan baca bismillah, meski habis makan suka lupa hamdalah. Syukur2 bulan ramadhan tekad berpuasa tetap tinggi. Lalu, kenapa keinginan shalat gak setinggi keinginan puasa?

Aku cuma bisa diam merenungi kenyataan itu. Emang bener, pas ramadhan, aku gak sabar menanti sahur pertama. Gengsi berat kalau KO sebelum buka puasa pertama. Nelangsa ketika akhirnya menstruasi (sengaja kutulis sesuai istilah yang sesungguhnya: menstruasi, karena kalau aku ganti dengan “datang bulan”, mens, atau istilah lainnya, justru terasa aneh dan aku malu sendiri) dan gak bisa ikut puasa sementara waktu. Hepi berat karena berhasil melawan godaan seharian. Hepi melihat wajahku yang pucat dan bibirku yang kering di cermin karena kurang energi. Bersyukur sedalam2nya ketika tegukan pertama pas buka puasa mengalir dingin di tenggorokan. Lalu, kenapa aku gak merasa sejuk mendapat siraman air wudhu? Kenapa yang kurasakan justru gerah luar biasa ketika terbalut jubah shalat? Kenapa lantai itu begitu dingin ketika kusujudi? Kenapa suasana terasa tak bersahabat ketika aku ingin curhat dengan Allah? Mengadu pada-Nya seperti anak kecil mengadu pada ibunya karena habis dijahili teman2nya?

Aku akui, aku begitu rindu akan shalat. Begitu rindu ingin mengadu padanya, betapa setan dan iblis sering menjeratku ke dalam kenistaan. Ingin mengadu, betapa seringnya mereka menyakitiku dengan mengkafirkan diriku dari Islam….

Aku bilang pada Mas Kansas, aku ingin memperbaiki dulu bacaanku. Pelafalan qur’anku masih harus diperbaiki. Aku ingin sempurna membaca ayat2 yang Ia sucikan itu. Ayat2 yang juga disucikan umat Islam sedunia. Mas Kansas langsung menyadari, aku rindu akan shalat. Dan aku tak memungkirinya. Itu memang benar…

Mas Kansas bercerita tentang pengalamannya dengan teman2nya yang telah menemukan cara menenangkan diri dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Ia bercerita tentang bagaimana temannya yang beragama Islam bangun pukul lima pagi, shalat dalam keremangan subuh yang damai. Sengaja lampu dimatikan. Mungkin agar shalatnya lebih khusuk, atau ingin hemat listrik? Entah… yang jelas, Mas Kansas memperhatikan, bagaimana damai wajah temannya ketika menghadap Allah. Bahkan, seusai shalat ia tak langsung beranjak, melainkan masih berkutat di atas sajadah. Mungkin berdzikir, mungkin membaca qur’an, ia tidak tahu.

Mas Kansas juga pernah ke Menjangan, sebuah pulau kecil di daerah timur Buleleng. Di sana ada sebuah pura, aku tidak tahu pura apa. Ia memperhatikan, bagaimana seorang temannya yang beragama Hindu khusuk dalam keheningan laut yang tentram, berdoa dalam kepulan wangi dupa, dalam lengkingan lonceng kecil yang dibunyikan pendeta, dengan siluet laut senja di belakangnya… irinya hatiku mendengarnya…

Lalu, temannya yang beragama Buddha. Sering ia menjumpai temannya ini duduk bersila di atas tempat tidur. Hanya duduk bersila. Mungkin sebenarnya ia bermeditasi. Teknisnya, ia duduk bersila, mengosongkan pikiran dari hal2 keduniawian. Pacarnya, tugas2 kuliah, uang kirimian yang seret, semua itu diusir dari pikirannya.

Sementara, Mas Kansas sendiri, ia penganut kristen katolik yang taat. Setiap minggu ke gereja, membuat tanda salib ketika masuk. Menghadap altar, menyalakan lilin di sana, berlutut dengan tangan saling memagut, lalu bercerita panjang lebar tentang apa saja yang ia pikirkan atau yang ia rasakan atau yang ia alami pada tuhannya, Yesus Kristus. Atau, katanya lagi, ada tempat lain, agak ke dalam. Di sana ada patung Bunda Maria memeluk Yesus yang baru habis disalib. Ia menyalakan lilin dan bercerita atau berdoa. Apa saja… di situ ia menemukan kedamaian. Semua itu, yang diceritakan Mas Kansas, penemu kedamaian yang sama meski beragama berbeda, akan beranjak dari pengaduannya dengan segar. Mereka bangkit dengan ringan. Segala beban terasa hilang dan tak membebani lagi. Baginya, pengaduan yang mereka lakukan sama dengan komputer yang habis di restart (ini aku bahasakan sendiri karena lupa kata2nya yang tepat seperti apa). Fresh kembali. Jalannya jadi lebih ringan. Enteng… sehingga, meski kemudian kembali bertemu masalah yang bertubi-tubi hingga nyaris membuat kita seakan ingin bunuh diri karena stress, mereka akan kuat menghadapinya. Bila tidak kuat, mereka bisa kembali pada Tuhan mereka masing2 untuk mengadu dan meminta dukungan.

Mas Kansas bilang, adalah bagus bila aku menyadari, aku kurang shalat. Nggak pernah malah. Bagus, kalau aku ternyata merindukan shalat. Kenapa? Aku lupa jawaban yang ia katakan. Yang jelas, kemudian ia bercerita tentang surga.

Baginya, surga yang dijanjikan Tuhan bukanlah tempat. Surga adalah suasana. Bila kita memandang surga sebagai sebuah tempat, indah, segala yang kita inginkan ada, tersedia untuk kita dan kita bahagia di sana, lama kelamaan kita akan bosan.

Sama halnya seperti kita yang biasa makan ikan asin karena harus irit biaya hidup. Makan ayam terasa sebagai sebuah kemewahan. Lalu, hidup kita meningkat. Kita mulai sukses dan kaya. Kita teringat nikmatnya makan ayam. Kita sering makan ayam karena rindu akan nikmatnya. Tapi, lama kelamaan ayam akan menjadi membosankan. Kita rindu akan makanan yang lain. Mungkin kita ingin burger, pizza, atau makanan mewah yang lain. Lalu, ketika kita sudah terlalu sering menikmatinya, kita akan bosan lagi dan mendambakan yang lain. Karena itu, akan sangat berbahaya apabila kita bosan pada surga jika ternyata surga adalah tempat.

Bagi Mas Kansas, surga adalah suasana yang kita rasakan di alam sana nanti. Suasana damai yang menenangkan, menentramkan dan membuat hati kita nyaman. Di mana pun kita berada, itu yang kita rasakan. Damai… tentram…

Nah, kalau neraka, lain lagi. Neraka sebenarnya juga suasana yang kita rasakan. Tapi, yang kita rasa itu adalah rasa sakit. Pernah sakit hati karena dikhianati pacar, temen, ato sahabat? Pernah ngerasa marah, geram, hingga benci? Sesek banget di dada kan? Dan kita tersiksa oleh perasaan itu. Makan gak enak, tidur gak nyaman, uring2an terus seharian, temen ngajak becanda berasa gak lucu, temen usil terasa ngejengkelin, bahkan kadang kita pengen banget rasanya “menyingkirkan” orang2 yang menjengkelkan itu. Pengen banget mengeliminasi mereka dari kehidupan kita, bahkan kalau perlu dari dunia ini. Biar dunia nggak mengenal orang yang menurut kita menjengkelkan…

Pemikiran seperti itu, adalah siasat setan, iblis, yah bangsa2 yang gak seneng manusia disayang Tuhan. Mereka sering menunjukkan sesuatu yang indah, yang akan membuat kita terlena, menikmati kenikmatan yang semu, padahal tanpa kita sadari, kita terluka. Semua kenikmatan yang kita rasakan itu hanyalah fatamorgana. Kita merasa nikmat, bahagia tak alang kepalang, tapi endingnya kita sengsara. Misalnya, selingkuh. Dengan selingkuh kita merasa senang. Merasa hebat telah menjadi pembohong. Senang karena mendapat kasih sayang dari banyak orang. Tapi, tanpa sadar kita tersiksa. Kita menjadi pembohong. Di sisi lain, selingkuh itu rugi banget. Kita perlu menganggarkan dana lebih buat SMS atau telpon, ngajak makan atau sekadar jalan2. Kalau pacar minta janjian di saat sama dengan selingkuhan, ribet kan urusannya? Putar otak lagi, bohong lagi, dosa lagi…

Mas Anom lalu bertanya, sebenarnya apa sih yang mesti kita cari di dunia ini? Mas Kansas menjawab dengan mantap, ketenangan. Sekali lagi, ketenangan. Karena kita sering mencari kelayakan hidup yang lebih tinggi dari yang kita miliki. Kita berpacu pada hal itu itu. Yang lagi sekolah, ngejar nilai tinggi. Yang kuliah juga begitu. IP seakan2 mantra paling ampuh untuk meningkatkan derajatnya di mata keluarga dan lingkungan pergaulannya. Yang kerja, peras-keringat-banting-tulang-jungkir-balik nyari duit. Setelah yang kita impikan kita dapatkan, kita ingin lebih. Terus begitu. Lalu, setelah itu apa? Kita bosan. Kita jenuh. Jemu dengan segala tetek bengek duniawi itu. Maka, kita butuh ketenangan. Kita ingin lari sejenak, menghindar dari rutinitas. Menghilang sejenak dari peradaban kehidupan kita sendiri…

Kembali ke surga sesuai definisi Mas Kansas: suasana yang menyenangkan dan realita selingkuh. Mas Anom bilang, selingkuh itu terasa bagaikan surganya dunia. Kita dapetin semua orang yang kita mau. Dalam hal Mas Anom, cewek. Dia suka cewek ini, dapet. Suka cewek itu, dapet. Tapi, buntut2nya pasti ribet. Belum lagi kalau ketahuan, males banget kan kalau kita harus ribut2 soal cowok atau cewek?

Membicarakan hal itu, aku teringat pengalamanku sendiri. Lalu, bagaimana dengan korban perselingkuhan? Aku tanya begitu. Bagi Mas Kansas, ya gak masalah. Karena aku hanya menjadi korban, bukan pelaku… sakit emang. Sedih banget rasanya… tapi, setelah itu, kita akan baik2 saja… lain halnya dengan pelaku perselingkuhan…

Pembicaraan tentang pelaku perselingkuhan menyerempet ke air. Mas Kansas sempat bertanya kenapa jadi membahas air? Kenapa orang Islam menggunakan air untuk berwudhu? Kenapa orang Hindu mencipratkan air (dalam Hindu istilahnya air Tirta) setiap usai sembahyang (Tri Sandya)? Tau gak, kalau tubuh kita itu sebagian besar terdiri dari air? Aku maupun Mas Anom gak bias menjawab karena terlalu sibuk nepokin nyamuk2 yang menggigiti hampir sekujur tubuh kami. Maklum, kami ngobrol dalam keremangan. Lampu balkon sampai wastafel deket kamar Mas Totok (penghuni kamar di yang lain) dimatikan untuk mendramatisir obrolan rohani malam itu.

Seorang peneliti dari Jepang meneliti air. Segelas air di tempatkan di sebuah ruangan, segelas lagi di ruangan yang lain. Air di ruangan pertama di beri kata2 yang baik2. di puji2, pokoknya diberi perlakuan positif. Sedangkan air di ruang yang satu lagi, diumpat2, diberi makian, pokoknya diberi perlakuan yang negatif. Ternyata, air yang diberi kata yang baik2, menunjukkan molekul yang indah luar biasa. Aku nggak tau istilahnya apa, yah aku bilang aja molekul…pokoknya, setelah diintip dengan mikroskop, air itu tampak indah banget..setelah aku coba cari di google, dapet gambarnya, seperti ini:






Sementara, yang diberi kata2 makian atau umpatan, jadi seperti ini:





Lalu, kembali ke fakta bahwa tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air. Bayangkan bila tubuh kita diberi umpatan. Misal, kita ketahuan selingkuh, pacar dan selingkuhan kita marah. Kita dimaki2, disumpah2in macem2. bisa gak ngebayangin bakal jadi seperti apa tubuh kita?

Jadi, selama kita hanya menjadi korban, gak masalah. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana caranya agar kita bisa menerima kenyataan dengan ikhlas dan hati terbuka.

Kembali, aku teringat pada pengalamanku.

Aku: “aku marah, Mas, digituin (diselingkuhin). Kesel juga. Sedih, iya. Sakit hati, banget. Tapi, aku nggak pengen nyumpah2in dia (mantan). Gak pengen maki2, kasih umpatan di depannya…aku justru kasihan sama dia…

Mas Kansas: kenapa kasihan?

Aku: dari obrolanku selama ini dengan dia, dari cerita2nya, aku merasa dia sendiri bingung dengan jalan hidupnya. Dia belum tau, apa yang dia mau, apa yang dia butuhkan…aku rasa, dia belum siap dengan perubahan hidup yang harus dia jalani…

Mas Kansas: (manggut2) itu berarti, kamu sudah mencapai satu tahap kedewasaan. Normalnya, orang diselingkuhin itu marah banget. Ya, pengen maki2, pengen nonjok kalau perlu…tapi, kamu justru kasihan sama dia…

Giliran aku yang manggu2. GR jg dibilang “telah mencapai satu tahap kedewasaan”… ^_^

Yah, itu emang bener. Bukan ngada2… aku pernah diselingkuhin baru2 ini. Marah, iya. Kesel, juga. Sedih, banget. Sakit hati, apalagi… tapi, paling tidak, dia mau jujur sama aku sebelum aku terlanjur sayang sama dia, sesuai kata Mas Kansas kemudian. Daripada ntar telat, aku terlanjur di macem2in, akhirnya kenapa2 (bunting maksudnya), kan berabe tuh? Mending kalo dia mau tanggung jawab. Kalo nggak? Kan aku sendiri yang rugi. Kasihan ortuku juga. Pasti bakal kecewa banget…

Trus, Mas Kansas, Mas Anom dan Kak Ari (udah datang makan malam dan akhirnya ikut gabung sama kita2) nanya, tentang kisah cintaku itu. Gimana jadinya, kok bisa putus. Yang pasti, aku bilang aja alesannya karena emang udah nggak jodoh. Mau diapain lagi. Serunya waktu aku cerita, gimana aku bisa jatuh cinta sama nih anak cowok yang rada pecicilan (di mata mereka). Aku ceritain aja terus terang. Dalam waktu kurang dari 2 jam, mereka udah kayak kakak bagiku. Jadi, gak ada rasa canggung lagi untuk cerita. Hanya saja, aku tetep minta lampu balkon tetep dimatiin, karena aku tau, selama aku cerita tentang kisah cintaku yang satu ini, mukaku pasti merah banget… ~_~

Bener aja, mereka ketawa mendengar aku jatuh cinta hanya dari mendengar suara biola yang dimainkan cowok ini. Ketawa mendengar cinta ini semakin besar begitu aku melihat orangnya dan semakin besar lagi ketika dia ninggalin aku…

Dari dialog tengah malam itu, aku merenung. Terutama, nasihat terakhir: “Biarkan aja dia. Kalau kamu kasihan, itu tandanya kamu bener2 sayang sama dia dan gak mau kalau dia terperosok makin jauh. Kalau memang begitu, kamu harus ngingetin dia, nasehatin dia, supaya dia berubah. Tapi, kalau ternyata dia nggak mau berubah juga, ya udah… biarkan saja. Toh yang akan ngerasain dia sendiri. Kamu nggak akan kenapa2. hukum karma akan berjalan. Kalau bukan kamu yang membalas, Tuhan akan membalaskan untuk kamu…”

Aku rasa itu bener banget. Cuman, aku nggak pernah punya kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan mantan. Sampai saat ini kami masih diem2an. Aku udah usaha untuk—paling tidak—temenan sama dia. Dia bilang oke. Tapi, ternyata tiap aku telepon, gak pernah ditanggapi dengan baik… sedih sendiri deh…tapi, sekarang aku rasa itu nggak perlu. Terserah dia mau ngapain lagi…yang aku utamakan sekarang, gimana caranya biar aku nggak musuhan sama dia…aku paling males kalau harus musuhan… gak masalah kalau ternyata dia nggak cinta beneran…

Kenapa aku berpikiran seperti itu? Kembali ke ketenangan... Aku butuh ketenangan. Gak dapet kabar darinya membuat aku nggak tenang. Dimusuhi olehnya membuatku gak tenang. Aku ingin mengikhlaskan, apapun yang ia lakukan padaku…

Ternyata emang bener… yang kita butuhkan sebenarnya adalah ketenangan. Aku nggak terlalu butuh cinta. Karena sesungguhnya cinta yang membahagiakan kita adalah cinta yang mampu memberikan ketenangan. Berarti, basic-nya adalah ketenangan kan?

Coba bayangkan suasanan desa. Yang kita bayangkan adalah tempat yang sejuk, hijau oleh dedaunan, udaranya basah oleh embun, seger banget. Orang2nya ramah. Kita duduk bersantai di pondokan sederhana yang terbuat dari kayu. Apa itu bukan berarti kita mendambakan ketenangan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar