Sabtu, 26 September 2009

Catatan Pinggir (1)

Aku mulai membenci diri ketika hidup harus berlalu seperti hari-hari yang telah lalu. Seakan hidup memang seperti itu dan harus selalu begitu: ke kampus, mengikuti perkuliahan, terkantuk-kantuk di dalam kelas, lalu pulang dengan kepala yang sama kosongnya dengan sebelum masuk kelas. Di kos, membaca buku-buku usang yang jelas sudah tak menarik lagi, sudah hapal isinya karena terlalu sering dibaca (inilah krisis diri pada mahasiswa: tak punya banyak buku yang bermutu). Bila sudah mual dan ingin muntah karena buku itu, paling hanya bisa meraih gitar di belakang pintu kamar, memetiknya asal, tak sadar satu senarnya putus karena pikiran telah melayang ke padang pasir yang luas di belahan bumi yang lain: membayangkan kuda-kuda di dalam istal yang meringkik dan mendepak-depak ganas. Ketika istal dibuka, mereka berlarian dalam dengus yang panas. Angin mengibaskan surai-surai mereka. Cantik dan gagah. Pada akhirnya, aku harus menghela napas kecewa, karena aku bukanlah kuda-kuda itu. Aku tak dapat berlari dan meringkik untuk bebas…

Bila perut meronta, hanya perlu beranjak semeter jauhnya, meraih teko pemanas air, lalu memasak mie instant dan segelas cappuccino sachet, menyantapnya tak bergairah, tak bersyukur, kemudian bersiap untuk mulas bersama diare dan maag akut.

Aku butuh hidup baru! Hari-hari yang baru. Yang berbeda tiap detiknya. Tak hanya berkutat dengan yang sudah kucicip kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Aku ingin jalan baru yang mampu menawanku dalam pesona dan takjub jiwa muda.

Aku ingin hidup yang tak biasa. Yang tak mampu kutebak awal dan akhirnya. Yang membuatku selalu terlonjak. Lalu kusadari, hidup “normal” yang kuinginkan itu tak akan pernah kualami, bila tak kumulai sendiri. Jadi, kuawali dengan catatan ini, kutulis dalam pengapnya kamar mandi kosku, di tengah bebauan manusiawi dan dengik hidung tersumbat ingus...

Singaraja, 26 September 2009

Senin, 07 September 2009

Kebenaran Itu...

Bagi kalian, kebenaran itu adalah apa yang terkecap di pangkal lidah kalian, hingga kalian tak tahan karena getirnya, lalu meludahkannya di atas tanah kering. Buih ludah itu melahirkan lumpur kecokelatan dari perkawinan ludah dan debu...




Bagiku, kebenaran adalah yang terkecap di ujung lidahku. Kuumbar pada dunia, menyemburkan ludah pada wajah-wajah kalian hingga basah...